Bandar Lampung – Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung menyampaikan perkembangan penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Jalan Tol Terbanggi Besar – Pematang Panggang – Kayu Agung (STA 100+200 s/d STA 112+200) Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2017–2019.
Dalam konferensi pers di Gedung Vicon Kejati Lampung, Senin (11/8/2025), penyidik menetapkan IBN, Kepala Divisi V PT Waskita Karya, sebagai tersangka. Penetapan tersebut berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor PRIN-13/L.8/Fd.2/08/2025.
Tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 dan/atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Penyitaan Aset Puluhan Miliar
Selama proses penyidikan, tim penyidik melakukan penggeledahan di empat lokasi, yakni Provinsi Riau, DKI Jakarta, Bekasi (Jawa Barat), dan Semarang (Jawa Tengah). Dari hasil penggeledahan, penyidik mengamankan uang sebesar Rp4.099.256.764, yang terdiri dari Rp2.191.514.113 disita dan Rp1.907.742.651 diblokir.
Selain itu, penyidik menyita dan memblokir 47 sertifikat tanah dan bangunan, lima unit kendaraan roda empat, serta tiga unit sepeda bermerek. Estimasi nilai total aset yang disita mencapai sekitar Rp50 miliar.
Sejak 13 Maret 2025 hingga kini, Kejati Lampung telah menyita uang senilai Rp6.357.000.000 untuk upaya pemulihan kerugian negara.
Nilai Proyek dan Waktu Pelaksanaan
Nilai kontrak pembangunan jalan tol tersebut sebesar Rp1.253.922.600.000 dengan panjang pekerjaan 12 kilometer. Pekerjaan dilaksanakan selama 24 bulan, mulai 5 April 2017 hingga 8 November 2019, dengan serah terima pertama (PHO) pada 8 November 2019. Masa pemeliharaan (FHO) berlangsung selama tiga tahun.
Modus Operandi
Penyidik mengungkap adanya penyimpangan anggaran dalam pelaksanaan proyek. Oknum tim proyek Divisi V PT Waskita Karya diduga membuat pertanggungjawaban keuangan fiktif dengan cara merekayasa dokumen tagihan yang seolah-olah berasal dari kegiatan proyek.
“Pada kenyataannya, pekerjaan tersebut tidak pernah ada. Bahkan, sebagian menggunakan nama vendor fiktif atau meminjam nama vendor lain,” ungkap penyidik.
Tindakan tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp66 miliar.